Jakarta, hanyacoretankami.blogspot.com – Setiap tahunnya, Hari Bakti Rimbawan diperingati untuk mengenang sejarah panjang perjalanan pembentukan Departemen Kehutanan di Indonesia, yang pada tanggal 16 Maret 1983 berpisah dari Departemen Pertanian. Momentum bersejarah ini juga dijadikan sebagai tonggak konsolidasi para rimbawan di seluruh Indonesia untuk kembali menguatkan komitmen dan kesadaran dalam berkarya dan membangun hutan dan kehutanan Indonesia.
Pada hari pembentukan Departemen Kehutanan, biasa dijadikan oleh para rimbawan untuk melakukan refleksi diri, menggali inspirasi, motivasi dan berbagai inovasi dalam kiprah kerja di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, dimanapun bertugas sembari bersujud dan berdoa bagi rekan-rekan yang gugur dalam menunaikan tugas negara sebagai perimba.
Di dalam naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Direktorat Jenderal Kehutanan terus mengobarkan semangatnya, meningkatkan pelayanan publik di tengah pandemi melalui kebijakan maupun inovasi.
Penggalan kata “Rimbawan” buat sebagian masyarakat menjadi sangat sakral, khususnya bagi mereka para aparatur negara yang bekerja di bidang kehutanan, baik pemerintah pusat maupun daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota). Memang karena sesungguhnya para aparatur inilah yang menjadi subjek langsung yang diamanati oleh masyarakat dan negara untuk mengelola Sumber Daya Hutan (SDH) sebagai representasi eksekutif, salah satu pilar demokrasi. Pada periode berikutnya, mereka yang dipersiapkan untuk bekerja di bidang kehutanan atau berlatar belakang pendidikan kehutanan juga diakui sebagai “Rimbawan”
Pendapat tentang terminologi “Rimbawan” mulai meluas seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, dinamika perubahan kebijakan tata kelola hutan dan kehutanan dan bergesernya cara pandang masyarakat terhadap SDH3.
Dalam M. Arbain Mahmud, 2015, menyebutkan bahwa Pelaku usaha bidang kehutanan dimulai dari petani hutan hingga pelaku usaha skala besar seperti pemegang dan pekerja pada konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), perusahaan yang bergerak dibidang Eko Wisata dan Jasa Lingkungan Hutan; juga disebut sebagai “Rimbawan” Indonesia.
Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa semua kelompok/komunitas, minimal beranggotakan dua orang yang konsisten mengadvokasi bidang kehutanan, dapat dikategorikan sebagai “Rimbawan”. Jika mengacu pada makna ini maka para pengiat sosial budaya bidang kehutanan, baik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga pendidikan, lembaga sosial, agama dan adat, organisasi profesi, hingga sekadar kelompok studi; mereka adalah “Rimbawan”. Pada akhirnya pendefinisian ”Rimbawan” semakin berkembang lebih jauh dan dikatakan bahwa masyarakat umum yang merasakan manfaat dan dampak langsung maupun tak langsung dengan keberadaan hutan di patut disebut sebagai “Rimbawan”.
Pemaknaan kata “Rimbawan” saat ini menjadi sangat luas. Secara berani dan tegas, “Rimbawan” dapat diartikan sebagai semua manusia penghuni muka bumi. Semua masyarakat dari hulu, tengah hingga hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mendapatkan manfaat dari keberadaan hutan dapat dikategorikan juga masuk ke dalamnya. Tidaklah keliru bila kita mengkalkulasikan masyarakat adat, orang desa, orang kota dimanapun mereka berada adalah “Rimbawan”. Dengan demikian, sejatinya kita semua adalah perimba, yang sebelumnya masih terkungkung di ruang sempit persangkaan, bahwa hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) dan mereka yang berkerja dibidang kehutanan yang disebut sebagai “Rimbawan”.
Segenap keluarga hanyacoretankami mengucapkan Selamat Hari Bakti Rimbawan yang ke-39!
Pada hari pembentukan Departemen Kehutanan, biasa dijadikan oleh para rimbawan untuk melakukan refleksi diri, menggali inspirasi, motivasi dan berbagai inovasi dalam kiprah kerja di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, dimanapun bertugas sembari bersujud dan berdoa bagi rekan-rekan yang gugur dalam menunaikan tugas negara sebagai perimba.
Di dalam naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Direktorat Jenderal Kehutanan terus mengobarkan semangatnya, meningkatkan pelayanan publik di tengah pandemi melalui kebijakan maupun inovasi.
PENGERTIAN RIMBAWAN
Pada awalnya terminologi “Rimbawan” terkesan bias gender, seakan seorang rimbawan adalah sosok maskulin yang tergambar dalam episode “Tarzan” ataupun kisah-kisah yang terangkum dalam cerita “orang hutan” dengan sosok lelaki yang kekar dan tinggal meyendiri, kesepian, bekerja dan hidup di tengah hutan. Kalaupun ada sosok wanita atau perempuan seolah hanya digambarkan pada mereka yang sesaat tersesat dalam romantika dunia di dalam rimba, perempuan pada awalnya dianggap bukan merupakan subjek yang terbiasa berkeliaran dalam rimba apalagi mampu bekerja dan hidup di dalamnya dengan sejahtera.Penggalan kata “Rimbawan” buat sebagian masyarakat menjadi sangat sakral, khususnya bagi mereka para aparatur negara yang bekerja di bidang kehutanan, baik pemerintah pusat maupun daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota). Memang karena sesungguhnya para aparatur inilah yang menjadi subjek langsung yang diamanati oleh masyarakat dan negara untuk mengelola Sumber Daya Hutan (SDH) sebagai representasi eksekutif, salah satu pilar demokrasi. Pada periode berikutnya, mereka yang dipersiapkan untuk bekerja di bidang kehutanan atau berlatar belakang pendidikan kehutanan juga diakui sebagai “Rimbawan”
Pendapat tentang terminologi “Rimbawan” mulai meluas seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, dinamika perubahan kebijakan tata kelola hutan dan kehutanan dan bergesernya cara pandang masyarakat terhadap SDH3.
Dalam M. Arbain Mahmud, 2015, menyebutkan bahwa Pelaku usaha bidang kehutanan dimulai dari petani hutan hingga pelaku usaha skala besar seperti pemegang dan pekerja pada konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), perusahaan yang bergerak dibidang Eko Wisata dan Jasa Lingkungan Hutan; juga disebut sebagai “Rimbawan” Indonesia.
Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa semua kelompok/komunitas, minimal beranggotakan dua orang yang konsisten mengadvokasi bidang kehutanan, dapat dikategorikan sebagai “Rimbawan”. Jika mengacu pada makna ini maka para pengiat sosial budaya bidang kehutanan, baik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga pendidikan, lembaga sosial, agama dan adat, organisasi profesi, hingga sekadar kelompok studi; mereka adalah “Rimbawan”. Pada akhirnya pendefinisian ”Rimbawan” semakin berkembang lebih jauh dan dikatakan bahwa masyarakat umum yang merasakan manfaat dan dampak langsung maupun tak langsung dengan keberadaan hutan di patut disebut sebagai “Rimbawan”.
Pemaknaan kata “Rimbawan” saat ini menjadi sangat luas. Secara berani dan tegas, “Rimbawan” dapat diartikan sebagai semua manusia penghuni muka bumi. Semua masyarakat dari hulu, tengah hingga hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mendapatkan manfaat dari keberadaan hutan dapat dikategorikan juga masuk ke dalamnya. Tidaklah keliru bila kita mengkalkulasikan masyarakat adat, orang desa, orang kota dimanapun mereka berada adalah “Rimbawan”. Dengan demikian, sejatinya kita semua adalah perimba, yang sebelumnya masih terkungkung di ruang sempit persangkaan, bahwa hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) dan mereka yang berkerja dibidang kehutanan yang disebut sebagai “Rimbawan”.
DEPARTEMEN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
Departemen Kehutanan, disingkat Dephut atau Kementerian Kehutanan adalah kementerian yang pernah ada dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan kehutanan dan perkebunan. Kementerian Kehutanan dipimpin oleh seorang Menteri Kehutanan (Menhut) yang sejak tanggal 22 Oktober 2009 dijabat oleh Zulkifli Hasan. Kementerian ini telah digabungkan dengan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi kementerian baru yang bernama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh Presiden Joko Widodo.Segenap keluarga hanyacoretankami mengucapkan Selamat Hari Bakti Rimbawan yang ke-39!
Post a Comment for "SELAMAT HARI BAKTI RIMBAWAN KE-39"